Rabu, 29 September 2010

Just For Laught !!!

      Siang hari yang panas seakan menambah pederitaanku hari ini. Asap hitam kendaraan umum mengepul seperti asap dari tungku perapian kuno milik orang-orang yang mungkin belum mengenal tissue WC. Para pedagang kaki lima masih saja setia menjajakkan dagangannya yang kerap disinggahi tuan lalat. Keringatku pun mulai bercucuran yang apabila dikumpulkan bisa membentuk Sungai Nil kedua di dunia.
            Yah, setidaknya itu yang kupikirkan untuk menghibur diri di tengah hiruk pikuk siang ini. Menghibur? Salah! Aku bukannya menghibur diri tapi mengeluh. Entah mengapa selalu seperti ini, selalu siang hari yang seperti ini. Setiap pulang sekolah aku harus pulang ke kos menggunakan bus meski sepanas apapun cuaca hari itu.. Ehm, tak apalah, sekilas kuingat ada kejadian menarik di sekolahku hari ini.
“Ooy… Pagi Kokom!! Haha..”, sapaku pada gadis berkuncir dua yang wajahnya terlihat sangat tak berdosa ini.
Diam, gadis ini memang terlihat selalu tak pernah memperhatikan ejekanku. Sudah sejak tiga tahun memang aku selalu mengganggunya di sekolah. Entah…
“Pagi Dondon! Eh..eh Kamu udah bawa foto 4x3 dua lembarnya belom?”, tanya gadis berambut panjang yang dipanggil Ve ini. Dia selalu bertanya hal-hal yang tidak penting yang sudah pasti tak perlu dijawablah. Apalagi kalau Ve ini bertanya, pertanyaannya sering salah, hampir 99,99% kejadiannya sejak dia bertanya padaku tiga tahun lalu.
“Heemmm… 3x4, iya kan Miss Kokom?”, jawabku sambil mengangguk.
“Ve, liat tuh Mister Enstein udah berangkat!”, tunjukku pada laki-laki dengan tas ransel yang memang sangat pandai.
“Eh iya iya! Pagiiiii Mister Bimo bin Enstein.”
“Astaghfirullah.”, satu kata yang selalu ia ucap ketika Aku dan Ve kompak mengejeknya.
“Mister, Mister, lidahnya mana? Mana lidahnya kok nggak kaya di gambar?bweekk..bweekk. Hahahahaa…”, ejekku pada orang satu ini sambil menjulur-julurkan lidahku dan tak ketinggalan Ve pun mendukungku.
            Memang, selalu seperti ini hari-hariku di sekolah. Mengejek, mengolok-olok, menjahili bahkan menyakiti perasaan orang sering kulakukan. Bagaimana perasaanku soal tingkahku ini? Just For Laugh! Itu yang selalu aku pikirkan. Asal mereka menoleh ke arahku dan mereka membalas ejekanku. Menurutku itu pembicaraan, pembicaraan singkat.
“Bagi para siswa kelas XII foto ukuran 3x4 yang berjumlah dua lembar harap dikumpulkan kepada BK pada jam istirahat pertama. Terima kasih.”. itu yang kudengar dari audio sound kelasku.
             “Eh Karin kenapa?”, tanya teman sebangku Kokom (Karin) melihat temannya kebingungan.
“Aduh fotoku nggak ada!”, ungkap Kokom dengan nada tinggi yang mungkin mencapai delapan oktaf membuat seluruh pasang mata yang ada di kelas saat jam istirahat itu melihat ke arahnya.
“Loh dicari lagi mungkin sembunyi kali di buku.”
“Iya dicari dulu.”, sahut teman yang lain.
Huh, payah hanya karena satu pas foto hilang semua cewek di kelas jadi repot? Dasar wanita! Hehm..
“Yaudah Kamu minta orang di rumah buat anter, cepetan SMS.”
“Haduh HP-ku ketinggalan, gimana?”
“Kamu sms ke nomermu aja, Rin”.
“Iya ya, tadi kan HP-ku ketinggalan di ruang tengah, nanti pasti ada orang yang tahu.”
“Mau minta pulsa SMS siapa, Rin?”
“Oke…oke ladies.. tenang..tenang Mister Dondon kalau cuma pulsa sih kecil. Haha.”, pamerku pada para gadis di kelasku sambil menyodorkan HP-ku pada Kokom.
“Waaaaaaahhhhhh…”, mereka pun terpesona dengan aksiku.
            Memang, aku akui Mister Dondon seperti aku ini banyak penggemarnya. Coba aku sebutkan, mulai dari gadis-gadis ini, adik-adik kelasku, tetanggaku, ibu kantin (lumayan makan didiskon..hehe) bahkan (Ughh sebenarnya aku tidak suka menyebutkan ini) ibu kosku sendiri!! Sebenarnya lebih cocok dipanggil nenek kos karena usianya sudah mencapai setengah abad lebih satu dasawarsa.
            Akhirnya, pas foto milik semua anak kelas XII sudah dikumpulkan termasuk milik Kokom. Hal ini membuatku menyadari bahwa hanya sedikit waktuku yang tersisa di sekolah ini. Lalu? Seharusnya aku senang dan lega orangtuaku akan memberiku kendaraan pribadi setelah ini, jadi tak perlulah aku menunggu bus panas-panas. Tapi….

                                                                        * * *
            Akhirnya, bus yang sudah lama aku tunggu datang juga. Orang-orang berdesak-desakkan masuk ke dalamnya. Apa mereka tak sadar dengan cairan tubuh yang mereka keluarkan yang menurutku sangat cocok dibuat acar, asam asetat. Haduh… sempurna sungguh sempurna siang ini.
            Entah beruntung atau apa akupun mendapat tempat duduk dekat jendela padahal tadi terlihat berjubel, aneh. Ya sudah, tak penting untuk dipikirkan yang penting aku bisa menikmati perjalanan ini. Dan ternyata tak kusadari hari menjelang sore dan matahari perlahan mulai menghangat dan bersahabat.
            Saat ini hatiku ingin tersenyum. Ingin tersenyum karena hal-hal yang aku alami di sekolah hari ini. Kemudian aku merogoh saku celana seragamku dan aku mengambil selembar pas foto berukuran 3x4. Wajah gadis yang biasa aku ejek di sekolah terlihat tanpa ekspresi di foto itu. Wajah Kokom dalam foto itu terlihat tetap manis. Lalu aku buka sent box HP-ku, nomor HP Kokom pun masih tercatat di sini. Nonsense? Please think make sense only because It’s  just for laugh, Kokom! Hehe…

Senin, 27 September 2010

DIAMKU


 Bukan karena aku bisu, aku menjadi seorang yang tak banyak bicara. Bukan juga karena otakku kosong, aku menjadi orang yang pasif. Mungkin orang akan menilai aku memiliki kelainan. Mungkin juga mereka mengira aku ini orang yang sombong. Aku menjadi pendiam karena aku ingin. Bukan paksaan, bukan juga untuk cari sensasi.
“Selamat pagi, Fitri, mau berangkat ke sekolah ya?”, sapa Bu Amin salah seorang tetanggaku.
“Ehm.”, jawabku mengangguk sambil tersenyum.
Aku pun berlalu meninggalkan ibu-ibu tetanggaku yang setiap pagi selalu berbincang-bincang menunggu tukang sayur dan melanjutkan perjalanan ke sekolah. Tapi aku mendengarnya, percakapan di balik punggungku.
“Dasar anak aneh, disapa baik-baik kok tidak mau buka mulut sedikit pun. Hhuuhh..”, keluah wanita berdaster itu pada tetanggaku yang lain.
“Ibu ,sih, tak perlulah sapa anak aneh itu.”, sahut yang lain.
“Halah, kelakuan orangtuanya saja seperti itu, bagaimana anaknya nanti.”
“Psssstttstststs… jangan keras-keras, nanti anak itu dengar lho, Bu.”
            Memang, aku mendengar semuanya. Lalu kenapa? Apa aku akan melawan opini mereka? Sudahlah, bukannya ini sudah biasa.

                                                                        *  *  *
Jam pelajaran PKn hari ini di sekolah pun berlangsung. Ibu Guru menyuruh kami sekelas membuat kelompok dan berdiskusi tentang sosialisasi partai politik. Teman-teman sekelompokku kebanyakan antusias mendiskusikan topik ini meskipun ada beberapa yang terlihat terpaksa.
“Fit, dulu kan Ayahmu ikut nyaleg kan?”, tanya Jaya padaku.
“Eh iya, iya.”, sahut Eri.
Ehm, aku kaget bukan main.
“Jaya!Eri!... Tanya apa kalian?”, sela Fida, teman baikku, sambil menyikut pelan tangan Jaya dan Eri.
“Ehm.”, jawabku sambil tersenyum dan mengangguk, seperti biasa.
“Eh, maaf, maaf.”, kata Jaya lagi.
Aku hanya tersenyum semanis mungkin untuk menutupi pahitnya perasaanku.
Bertanya-tanya soal orang tuaku, apa urusannya? Membuka luka lama saja.

                                                            *  *  *
            Sore ini hujan deras, Aku sedang menonton televise sendiri di rumah kerena paman dan bibiku sedang menjenguk kerabat di RSJ. Tok.. tok.. tok.. Suara ketukan pintu yang pastinya sangat mengagetkanku. Lalu kubuka perlahan pintu depan dan terlihat dua wanita yang satunya berpayung dan yang lain membawa tumpukan kardus berwarna dasar putih bermotif bunga-bunga.
“Fitri, ini ada syukuran dari keluarga kami. Silahkan diterima.”, kata salah seorang wanita itu.
“Terimakasih.”, jawabku.
Kedua wanita itu tercengang. Lalu saat salah seorang dari mereka sadar, ia menepuk bahu yang lain.
“Eh.. eh iya, iya sama-sama, Fit.”, jawabnya terbata-bata.
“Ya sudah, kami pamit dulu ya. Mari..”
Lalu kututup pintu itu. Lagi-lagi aku mendengar kedua wanita tadi berbicara tak jauh dari pintu depan rumahku.
“Hah.. ternyata dia dapat berbicara, ya.”, kata seorang.
“Iya. Saya kira dia tidak dapat bicara.”, kata yang lain.
“Tapi kenapa ya anak itu belum pernah bicara sebelumnya?”
“Saya sebenarnya juga kurang tahu pasti. Tapi yang saya dengar, anak itu mulai tidak berbicara setelah peristiwa itu.”
“Peristiwa apa?”
“Kata ibu-ibu tetangga ayah anak itu dulu caleg. Saat pemilu terdahulu, ayahnya kalah lalu bunuh diri. Ibunya stress karena harus menanggung hutang ayahnya, akhirnya dia dirawat di RSJ sampai sekarang. Fitri dibawa ke sini oleh keluarga pamannya. Saya kira anak yang dibawa Pak Brata itu bisu, lho.”, ceritanya panjang lebar.
“Eh, kasihan sekali ya anak ini. Tapi apa benar cerita itu?”
“Wah, soal kebenarannya saya tidak tau.”, sahut yang lain dan semakin lama suara mereka terdengar menjauh dan aku tak mendengar percakapan mereka lagi.
            Aku terpaku, tanganku bergetar, air mataku pun mengalir begitu derasnya. Dari mana mereka tahu kisah hidupku? Ya, itu benar. Ayahku memang caleg gagal lalu bunuh diri, memang sudah sangat lama peristiwa itu. Mengenai ibuku… apa itu benar? Kupikir ibu sedang bekerja di luar kota. Tidak, ini terlalu pahit untukku. Padahal aku ingin tak ada yang tahu rahasia diamku…

Minggu, 26 September 2010

About My Colorfull Life

Here about me, my and mine...
So, let me introduce myself..My full name is Aulia Mahani Nasir, you can call me Aul, Lia or up 2 u it necessary I'll respond your nice call...heemmm..now I'm in University.. and about this blog I want to share a lot of my (wonderfull :p) short stories..